Senin, 05 Januari 2009

RESENSI LASKAR PELANGI

Naskah Lomba Resensi Buku Laskar Pelangi
Dalam Rangka Milad Muhammdiyah Ke-99 PDM Bojonegoro 2008/2009

Judul Buku : Laskar Pelangi
Pengarang : Andrea Hirata
Penerbit : PT. Bentang Pustaka, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, 2005
Tebal : 534 halaman
Peresensi : Susanto, S.Pd *)



PANDUAN MEMBANGUN KULTUR
PENDIDIKAN BERBASIS AKHLAKUL KARIMAH

Luar biasa. Itulah kesimpulan saya setelah membaca buku ini. Sejenak saya terdiam sekaligus terenyuh sekali dan tak terasa air mata ini menetes begitu membaca buku yang berjudul Laskar Pelangi (LP) ini. Bagaimana tidak di tengah modernisasi yang sarat dengan tehnologi ternyata kehidupan dan masalah pendidikan tidak mendapatkan tempat. Pendidikan yang selama ini, yang ada di sekeliling atau diantara kita ternyata sangat memilukan bahkan bak menara gading. Tidak semua orang bisa merasakan. Baik yang menyangkut guru-gurunya, infrastuktur sekolah dan yang tak kalah pentingnya juga masalah murid muridnya yang sangat menyayat hati dan menguras pikiran bila diperhatikan kisah satu persatu tokoh yang tergabung dalam LP.
Bila dicermati lebih detail dalam buku LP ini pengarang Andrea Hirata (AH) mencoba mengungkap secara deskripsi tentang kehidupan sekolah, siswa-siswi, guru-guru dan dan LP yang begitu memilukan. Secara jelas buku LP ini terbagi dalam 34 bab yang mudah untuk dicerna bagi siapa saja yang peduli tentang pendidikan.
LP ini memaparkan secara gambling tentang kisah heroik kenangan 11 anak Belitong yang tergabung dalam LP: yaitu Syahdan, Lintang, Kucai, Samson, A Kiong, Sahara, Trapani, Harun, Mahar, Flo dan sang penutur cerita – Ikal. Andrea Hirata, yang tak lain adalah Ikal, dengan cerdas mengajak pembaca mengikuti tamasya nostalgia masa kanak-kanak di pedalaman Belitong yang berada dalam kehidupan kontras: kaya dengan tambang timah, tapi rakyatnya tetap miskin dalam kesehariannya.
Ini adalah cerita tentang semangat juang menyala-nyala dari anak-anak kampung Belitong untuk mengubah nasib melalui sekolah, yang harus mereka dapat dengan terengah-engah. Sebagian besar orang tua mereka lebih suka melihat anak-anaknya bekerja membantu orang tua di ladang, atau bekerja menjadi buruh kasar di PN Timah, daripada sekolah yang tak jelas masa depannya.
Derita sekolah itu tergambar jelas ketika SD Muhammadiyah di kampung miskin itu terancam tutup kalau murid baru sekolah itu tidak mencapai 10 orang. kesebelas anak itulah yang telah menyelamatkan masa depan pendidikan yang hampir redup dan luluh lantak digilas ekonomi dan kemiskinan yang mendera.
Kesebalas anak itu memiliki keunikan masing-masing. Diantara 11 anak Laskar Pelangi itu, Lintang dan Mahar adalah 2 diantara yang paling menonjol. Lintang jenius dalam bidang eksakta, Mahar ahli di bidang seni budaya. Mereka seolah mewakili otak kanan dan otak kiri manusia. Lintang memiliki semangat juang yang tiada tara dalam belajar. Dia rela menempuh perjalanan dengan kereta angin sejauh 80 km pergi pulang demi dapat memuaskan dahaga ilmu pegetahuan. Saking semangatnya hingga akan tercium karet terbakar dari sepatunya yang aus digerus pedal sepeda. Jika ada aral melintang di jalan dan terlambat sampai sekolah, tiada masalah baginya, asal dapat menyanyikan lagu ”Padamu Negeri” pada akhir jam pelajaran.
Novel Laskar Pelangi penuh dengan taburan wawasan yang penuh inspiratif dan imajinatif yang luas bak samudra dari penulisnya yang paham betul tentang ilmu eksakta, seni budaya, dan humaniora. Kita akan dibuat tersenyum geli dari humor kecil sekaligus memilukan yang dilontarkannya, terharu dan bahkan menangis ketika membaca kisah heroik kesebelas anak LP.
Filicium adalah pohon yang menjadi saksi seluruh drama kehidupan Laskar Pelangi. Pohon itu menaungi sekolah mereka yang hampir roboh. Pohon itu menjadi markas setiap pertemuan mereka: membicarakan soal-soal di sekolah, merancang karya untuk festival 17 Agustus, atau tempat Lintang memberi kuliah tentang ilmu fisika. Pohon itu pulalah yang menjadi saksi kerinduan Ikal pada gadis manis keturunan cina, anak pemillik Toko Sinar. Harapan yang memiliki jari lentik dan kuku cantik.
Anak-anak LP itu hidup dalam kebahagiaan masa kecil dan menyimpan mimpi masing-masing untuk hari esok. Tapi siapa yang sanggup melawan sang nasib? Dua belas tahun kemudian, Ikal menyaksikan perubahan nasib teman-temannya yang sungguh diluar dugaan. Sang nasib sungguh menjadi sebuah misteri yang maha gelap. Anak-anak Laskar Pelangi itu boleh punya cita-cita setinggi langit, tapi nasib jualah yang menentukan episode kehidupan mereka selanjutnya. Sang nasib bisa jadi adalah ketiadaan kepedulian pemerintah akan bibit-bibit unggul mutiara anak bangsa yang harus terhempas oleh himpitan ekonomi. Mereka adalah anak-anak harapan bangsa yang terpaksa harus tunduk oleh gilasan nasib yang semestinya bisa diupayakan oleh pemerintah yang punya amanah dan kuasa untuk memajukan pendidikan yang semestinya menjadi hak mereka. Tapia pa yang terjadi itu hanya mimpi.
Lintang, sang jenius itu misalnya kini harus terpuruk jadi sopir tronton karena harus menjadi tulang punggung keluarga, menjadi pengganti ayahnya. Tapi Lintang punya jawaban, ”jangan sedih Ikal, paling tidak aku telah memenuhi harapan ayahku agar tidak jadi nelayan….”. Bagi Ikal, kata-kata itu semakin menghancurkan hatinya, ia marah, kecewa pada kenyataan begitu banyak anak pintar yang harus berhenti sekolah karena alasan ekonomi. Ia mengutuki orang-orang bodoh sok pintar dan lebih ironis “jaim” yang menyombongkan diri, dan anak-anak orang kaya yang menyia-nyiakan kesempatan pendidikan yang semestinya dilakukan dengan sungguh-sungguh.
Kekuatan novel ini terletak pada sentilan humaniora tentang pentingnya pendidikan sekolah dan sekaligus kuatnya moral agama sebagai landasan berpijak dalam hubungan dengan sesama dan hubungan vertical kepada Sang khalik.. Disisi lain buku ini juga mengedepankan sebuah kegigihan seorang guru yang dalam hal ini Bu Mus dan juga kepala sekolah yang juga merangkap guru pengajar Pak Harfan. Sebuah percontohan yang sangat langka seorang guru dengan ikhlas mendedikasikan jiwa raganya demi anak-anak dan juga pendidikan. Dan dengan novel ini paling tidak juga memberikan spirit kepada para insan pendidik untuk bercermin dari kepribadian yang luhur, ikhlas, tanpa pamrih dari Bu Mus, Pak Harfan, dan kesebelas anak-anak LP.
Tak kalah penting bahkan mendesak sekali novel ini wajib baca bagi generasi muda yang terlena dengan gelimang kemudahan ekonomi seperti pada akhir-akhir ini dan tak lagi kenal jerih payah untuk menggapai masa depan yang cenderung hedonis, semau gue, akrab dengan narkoba, dan generasi “cangkruk diwarung kopi”. Novel ini juga wajib baca bagi para pendidik, bagi pemerintah yang selalu alpa pada pentingnya pendidikan. Buah dari kealpaan itu diantaranya adalah, kini kita menjadi bangsa yang sering menjadi bahan olok-olok oleh bangsa lain, karena kita rajin mencetak manusia yang tak punya kualitas. Alhasil bangsa yang selalu berjalan ditempat dan selalu ketinggalan seribu langkah dalam menyikapi tehnologi, iptek dan peradaban bangsa. Paling tidak kehadiran buku LP ini dapat dijadikan buku panduan untuk membangun kultur pendidikan berbasis akhlakul karimah ditengah krisis moral yang multidimensi yang tak kunjung akhir entah sampai kapan.
Kelemahan novel ini, menurut saya, dari segi penggambaran watak para pelakunya yeng cenderung datar. Artinya, dari awal sampai akhir pengarang AH lebih cenderung dan terjebak pada pola narasi yang ditonjolkan bukan pada deskripsi tokoh bagaimana ia membangun karakter yang baik. Namun, itu semua mungkin versi AH adalah salah satu trik dan kepiawaian dari AH untuk menguras emosi pembaca karena buku ini memang berlanjut dari 4 buku. Harapannya AH agar pembaca mengikuti secara detail keempat novel tersebut. Dan sekali lagi kehadiran novel LP ini seakan-akan memberikan siraman air ditengah terik matahari yang yang panas. Al hasil memberikan semangat bagaimana sesungguhnya membumikan SDM atau anak bangsa akan tidak tercabut dari akar budaya dan keimanannya di tengah pluralitas, kecanggihan tehnologi, dan higemoni kekuasaan yang tidak berpihak sama sekali pada kepentingan masyarakat madani yang kita impikan bersama. Bukankah begitu para pendidik, ustad, para pemimpin negeri ini, siswa, dan juga para orang tua atau masyarakat?



*) Penulis adalah guru SMA Negeri 3 Bojonegoro, email: zuzanto@telkom.net. Kini Tinggal di Jl. Kyai Mojo Gang Buyut Pani V Bojonegoro-Jatim.






Daftar Riwayat Hidup (Curikulum Vitae)

Nama : Susanto, S. Pd.
Tempat tanggal lahir : Bojonegoro, 15 Mei 1970
Pekerjaan : PNS Guru SMA Negeri 3 Bojonegoro
Jl. Monginsidi 9 Bojonegoro
Telp. 0353-882180 Bojonegoro
Jawa Timur
Alamat : Jl. Kyai Mojo Gg Buyut Pani V
Bojonegoro HP. 085-63063498
0353-7705106,
E-mail : zuzanto@telkom.net
NIP : 132 158 299
Golongan : III-d
Nomor Rekening : BNI Cabang Bojonegoro: 0072730090
Pendidikan Terakhir : S-1 IKIP Malang, 1995 Jurusan
Bahasa dan Sastra Indonesia
Prestasi : Pernah mendapatkan Program
Bea Siswa TID (Tunjangan Ikatan Dinas)
sehingga diangkat menjadi PNS tidak
melalui tes dan langsung diangkat
atau penempatan.
Pengalaman mengajar : 1995-1996 mengajar di SMA
Negeri 1 Kedungadem-Bojonegoro;
Pada tahun 1997-2003 mengajar di SMP
Negeri 1 Sampang Madura. Pada tahun
2003 sampai sekarang mengajar
di SMA Negeri 3 Bojonegoro
Jawa Timur. Menjadi Dosen pada IKIP PGRI
Bojonegoro 2008-sekarang.



Pengalaman Menulis dan Tulisan yang Pernah Dimuat di Media Massa:

1. Jawa Pos, 16 April 1993: Ujian Depkeu
2. Jawa Pos, 24 Juni 1993: Reorientasi Fungsi
3. Jawa Pos, 1 Februari 1994: “Ayam Kampus” Merambah Menara Gading
4. Jawa Pos, 7 Maret 1994: Skorsing yang Mendidik
5. Jawa Pos, 19 Mei 1994: Mewaspadai Joki UMPTN
6. Jawa Pos, 8 Juni 1994: Rektor Digugat Mahasiswa Sendiri
7. Jawa Pos, 28 Juli 1994: PP 15 1994 dan Nasib PT
8. Surya, 30 Agustus 1994: Kepuasan Pria dari Nyeleweng: Benarkah?
9. Jawa Pos, 18 Oktober 1994: Surat Terbuka untuk UKSW
10. Surya, 19 Oktober 1994: Komentar lomba ludruk Se-Jawa Timur: Ludruk Ditengah Derasnya Informasi Global.
11. Jawa Pos, 25 Januari 1995: Gelar dan Plus-Minus PT
12. Jawa Pos, 5 Maret 1995: Resensi Buku: Keadilan Versi Feminisme
13. Jawa Pos, 12 Juli 1995: Delik Perizinan, Dilema Rektor
14. Karya Darma, 28 Februari 1996: Angin Segar Bagi LPTK
15. Radar Bojonegoro, Jawa Pos: 19 November 2002: Genderang Pilbup Bojonegoro
16. Radar Bojonegoro, Jawa Pos: 15 Juli 2003: Tanggapan untuk Mundzar Fahman: Bila Budaya Korupsi Kian Membumi
17. Radar Bojonegoro, Jawa Pos: 11 Feb 2004:Perempuan Jadi Wakil Rakyat: Why Not?
18. Radar Bojonegoro, Jawa Pos: 3 Nov 2004: Seleksi CPNS-GB Semarawut: Salah Siapa?
19. Radar Bojonegoro, Jawa Pos, 6 Februari 2005 : Reorientasi UNAS
20. Radar Bojonegoro, Jawa Pos: 22 Mei 2005: Pro dan Kontra Penerapan SKS di SMA
21. Radar Bojonegoro, Jawa Pos: 8 Agustus 2005: Membangun Bojonegoro Berbasis Kerakyatan
22. Radar Bojonegoro, Jawa Pos: 14 Mei 2006: Sekali Lagi Menyoal Ujian Akhir Nasional: UAN dan BUDAYA INSTAN.
23. Radar Bojonegoro, Jawa Pos: Rabu, 28 Juni 2006: Pro dan Kontra Unas Ulang.
24. Radar Bojonegoro, Jawa Pos: Rabu, 6 Desember 2006: Penghentian Tayangan Smack Down.
25. Radar Bojonegoro, Jawa Pos: Minggu, 25 Maret 2007: Tanggapan atas Tulisan Agus Rismanto Susanto: Pilkada dan Hegemoni Politik Uang.
26. Jawa Pos : Selasa, 24 Juli 2007: Prokon Aktivis; Tayangan TV Pemicu Kekerasan Anak
27. Radar Bojonegoro, Jawa Pos: 27 Januari 2008: Tanggapan untuk Muhajir, S.Pd: Unas 2008 (Bisa) Membunuhku.
28. Radar Bojonegoro, Jawa Pos: Minggu, 6 April 2008: Dibalik Pemblokiran Situs Porno: Remaja; Bagaimana Harus Bersikap?
29. Radar Bojonegoro, Jawa Pos: Rabu, 2 Juli 2008: PSB Online: Siapa yang Diuntungkan?
30. Radar Bojonegoro, Jawa Pos: Minggu, 31 Agustus 2008: Ramadan 1429 H Momentum Introspeksi Diri dan Antikorupsi.
31. Radar Bojonegoro, Jawa Pos: Minggu, 5 Oktober 2008: Ijazah Instan dan Plus-Minus PT.
32. Radar Bojonegoro, Jawa Pos: Minggu, 26 Oktober 2008: Refleksi Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober; Revitalisasi Semangat Sumpah Pemuda



33. Radar Bojonegoro, Jawa Pos; Minggu, 7 Desember 2008: Catatan dari Kongres Guru Indonesia (KGI) 27-28 Nopember 2008: Guru Harus Bisa Tumbuhkan Inspirasi.
34. Radar Bojonegoro, Jawa Pos; Rabu, 24 Desember 2008: Refleksi Mothers Day 22 Desember 2008: Wanita dan Karakeristik Bangsa

Prestasi Lomba Kepenulisan:

1. Menjadi juara II se-Kab. Bojonegoro dalam Lomba Menulis Essay untuk kategori Guru yang diselenggarakan oleh DPD Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Bojonegoro pada tanggal 11 Juni 2006 dengan Judul: Surat Terbuka Kepada Bupati Bojonegoro.

2. Menjadi juara II se-Kab. Bojonegoro dalam lomba Menulis Resensi Buku yang diselenggarakan oleh Yayasan Pengembangan Perpustakaan Indonesia (YPPI) yang bekerjasama dengan Exxon Mobile Ltd. Pada tanggal 26 Oktober 2008.

3. Menjadi Juara II se-Jatim dalam lomba menulis artikel ilmiah kategori guru yang diselenggarakan oleh panitia dies natalis Unair Surabaya ke-54 pada 29 Nopember 2008.


Pengalaman Organisasi Kepenulisan:

1. Menjadi Staf Redaksi Majalah MAKNA Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP Malang tahun 1993/1994.
2. Menjadi Staf Redaksi Koran Kampus KOMUNIKASI IKIP Malang tahun 1993/1994.
3. Menjadi Pembina Majalah REFLEKSI News SMA Negeri 3 Bojonegoro tahun 2003 sampai sekarang.
4. Menjadi salah satu tim penyusun Bahan Ajar (BUKU PEGANGAN) Kurikulum KTSP SMA DIKNAS se-Kabupaten . Bojonegoro tahun 2006.
5. Menjadi salah satu tim pengembang KTSP 2006 (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) DIKNAS Bojonegoro tahun 2007.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar