Jumat, 09 Januari 2009

Catatan kritis atas Pilgub Jatim

Kolom Opini :


Catatan Menyongsong Pilgub Jatim 2008
Independensi KPUD dan Kontrak Politik Calon
Oleh: Susanto*)


Genderang demoktarisasi politik di Jawa Timur sudah mulai terasa dalam rangka menjelang Pilkada Pilbug Jatim yang akan dilaksanakan Juni 2008. Indikasi itu terlihat semakin sibuknya para elit partai politik, anggota dewan dan juga KPUD Jatim dalam mempersiapkan agenda 5 tahunan ini. Indikasi itupun tercermin dari berbagai kegaiatan yang dilakukan oleh berbagai parpol mulai mengelus-elus siapa yang akan dijagokan untuk menjadi pemimpin di Jawa Timur. Paling tidak, sudah ada beberapa nama yang muncul. Pertama, pasangan Dr. Achmady-(KH. Nuruddin, Suhartono, H.Roziqi) yang diusung PKB dengan suara 31 di DPRD Jatim sekaligus partai pemenang pemilu. Kedua, pasangan Ir. Sutjipto-H. Ridwan Hisjam yang diusung partai PDIP. Ketiga pasangan H. Soenarjo-Ali Machsan Moesa yang diusung partai Golkar dan juga Ketua PBNU Jatim. Pasangan keempat adalah Dr. H. Soekarwo (Pak De)- Drs. H. Syaifullah Yusuf (Gus Ipul) yang diusung partai PAN, Demokrat, dan juga kemungkinan PPP. (Jawa Pos, Rabu 27 Februari 2008).
Dalam konteks ini saya tertarik memberikan analisis dan ulasan. Semoga tulisan ini dapat memberikan kontribusi positif terkait dengan perkembangan politik yang sudah “memanas” menjelang suksesi di Jatim ini. Dengan kata lain, paling tidak tulisan ini dapat menjadi bahan kajian, diskusi dan pemikiran terkait dengan pemilihan pemimpin di Jawa Timur.
Untuk itu ada sejumlah permasalahan mendasar perlu kita jadikan pijakan dan renungan. Efektifkah Pilkada khususnya Pilgub yang diselenggarakan untuk dijadikan alat untuk melatih dan sekaligus media untuk demoktratisasi masyarakat dalam berpolitik? Apa yang harus dipersiapkan masyarakat Jawa Timur menyongsong Pilkada Pilgub Juni 2008? Untuk siapakah calon pemimpin dipilih? Parpol atau rakyat? Haruskah memiliki visi dan misi sebelum menjadi Gubernur atau wakil gubernur? Dan, haruskah putra daerah atau tidak? Benarkah Pilkada menjadi “kue lezat” bagi para anggota dewan atau para elit parpol? Bisakah Pilkada kali ini bebas money politics? Bagaimana idealnya figur yang memimpin Jawa Timur 5 tahun mendatang? Harus ada kontrak politik untuk tidak korupsi dengan masyarakat? Perlukah fit and for per test dan studi kelayakan? Benarkah Pilkada selalu identik dengan hegemoni politik uang? Dan siapakah pemenang sejati dalam Pilkada Jatim nanti?

PUTRA DAERAH DAN HINDARI “NATO”
Menjelang Pilkada Pilgub Jatim pada Juni 2008 jujur saja suhu politik kian memanas dan menarik untuk dicermati. Wacana siapa yang akan memimpin Jatim 5 tahun mendatang menjadi agenda penting akhir-akhir ini. Partai-partai besar atau kecil dan juga para ormas keagamaan atau juga aormas kemasyarakatan mulai sibuk menyambut pesta lima tahunan itu. Mereka sudah mulai melakukan deal-deal politik lintas partai atau lintas ormas. Wacana yang berkembang siapa yang harus memimpin Jatim pasca Imam Utomo-Soenarjo berakhir pada awal tahun 2008 ini semakin menjadi pembicaraan hangat dan patut menjadi kajian.
Kalau dicermati lebih jauh mengapa para elit politik kita cenderung ingin menjadi orang nomor 1 dan 2 di Jatim ini? Ada berbagai macam alasan dan beragam. Apapun adanya, harus kita akui bahwa Jatim ke depan karena memiliki nilai strategis dan prospektif. Meski kalau kita mau jujur Jatim memliki permasalahan yang cukup kompleks baik yang menyangkut SDA, SDM, atau juga angka pengangguran dan kemiskinan yang semakin tinggi. Dan tak kalah menariknya ada pertanyan dan argumentasi yang berkembang bahwa Gubernur dan wakil gubernur harus putra daerah? Pertanyaan berikutnya, benarkah putra daerah sesuai dengan semangat otonomi daerah dan demokratisasi politik yang sedang berkembang saat ini?
Dalam konteks ini, penulis punya penilaian dan pandangan, siapapun boleh menjadi gubernur dan wakil gubernur Jatim, baik putra daerah atau bukan, baik militer maupun sipil. Percuma bepredikat putra daerah jika buta karakteristik dan kondisi objektif wilayah serta masyarakat Jatim. Menurut saya, boleh putra luar daerah dan apapun profesinya asal memahami karakter dan bisa mengemban rakyat dari keterpurukan sosial ekonomi yang ada saat ini. Dalam kondisi yang demikian, tentunya siapapun pemimpin Jatim ke depan haruslah orang-orang yang memiliki komitmen untuk memajukan Jatim dalam segala hal baik itu yang menyangkut infrastruktur maupun pengembangan SDM masyarakat serta mempersempit kesenjangan sosial, ekonomi, politik, dan juga budaya. Jangan samapai “NATO” (No Action Talk Only). Artinya, jangan hanya tebar pesona atau janji-janji saja akan tetapi tidak terbukti atau omong kosong.
Pilkada adalah sebuah mekanisme yang harus dilakukan oleh segenap warga masyarakat dan pemerintah utnuk menentukan pemimpin dalam masyarakat. Masyarakat dalam keberadaannya tentunya butuh sebuah pola dan figur kepemimpinan yang bisa mengatur dengan baik dan bijaksana serta memiliki sikap keteladanan baik perilaku maupun moralitas. Masyarakat yang damai tentunya harus dipimpin oleh orang-orang yang memiliki sikap dan tanggungjawab kepada diri dan masyarakat yang akan dipimpinnya. Salah satu indikasinya mereka harus jujur, tidak korupsi, dan berakhlakul karimah. Dalam konteks ini saya sependapat apa yang dikatakan oleh Abdul Qadir Djaelani dalam bukunya yang berjudul: Sekitar Pemikiran Politik Islam (1994:122) yang mengatakan bahwa seorang pemimpin haruslah orang yang jujur dan amanah didalam menjalankan tugas-tugasnya.
Untuk memimpin Jatim , paling tidak balon (bakal calon) gubernur harus punya visi dan misi yang jelas. Visi dan misi dari calon pemimpin Bojonegoro perlu dikedepankan karena sangatlah naif manakala pemimpin yang akan dipilih ternyata tidak memiliki visi dan misi. Artinya, visi dan misi seorang calon pemimpin harus menjadi unsur utama. Ibarat koki masakan mau diapakan bahan-bahan itu. Tergantung koki itu. Begitu halnya dengan calon pemimpin Jatim. Dan tak kalah pentingnya, elite-elite partai Golkar, PDIP, PKS, PBB, PDS, PKB, PAN, PBR, PPP, PNBK, dan juga PKPB, Partai Demokrat, jajaran DPRD dan juga KPUD agar selalu mengontrol kebijakannya bila dalam Pilkada ia menang apakah kebijakan yang dijalankan sama dengan waktu janji-janji saat kampanye.
Kriteria yang sangat mendesak untuk dikedepankan adalah calon gubernur dan wakil gubernur harus memiliki visi dan misi yang jelas. Mengapa itu perlu? Untuk itu KPUD dan elite parpol dan anggota dewan yang terhormat harus memberikan penyuluhan dan memberikan contoh kepada masyarakat agar dapat memilih orang yang jelas visi dan misinya. Ibaratnya, jangan sampai memilih kucing dalam karung. Kalau masalah ini tidak diperhatikan secara serius, maka tunggu saat kehancuran. Jangan hanya karena salah memilih orang, nasib rakyat jadi kian sengsara dan tergadaikan. Ingat, sampai detik ini kesenjangan begitu tampak dalam segala sektor. Pengangguran semakin bertambah, diperparah lagi dengan krisis multidimensi yang tak kunjung usai.

INDEPENDENSI KPUD DAN BELAJAR MENGAKUI KEKALAHAN
Sudah menjadi rahasia umum bila kita melihat dan cermati berbagai fakta di berbagai daerah yang telah menyelenggarakan Pilkada selalu diwarnai berbagai permasalahan yang terkadang mengarah pada tindak premanisme yang berakibat kekerasan dan tak jarang konflik horizontal. Menurut saya, untuk itu ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk menuju Pilkada Jatim yang damai dan santun.
Pertama, perlunya sikap independensi dan kemandirian Komisi PemilihanUmum Daerah (KPUD). Mengapa ini perlu ditekankan? Sebab bagaimanpun KPUD merupakan lembaga yang mengadakan atau menyelenggarakan Pilkada. Lancar dan tidaknya Pilkada sangatlah ditentukan oleh kinerja anggota KPUD. Dan dalam konteks ini, dapat dipahami bahwa KPUD harus benar-benar bisa “menjaga jarak” dengan calon gubernur jangan sampai tergoda untuk menerima “sesuatu” dari calon yang menjadi pemimpin Jatim mendatang. Kalau sampai KPUD sebagai sebuah lembaga “tergoda” dan terjebak permainan para elite dan orang-orang ambisius tentulah akan terjadi kerawanan. Dan pada akhirnya Jatim akan tidak stabil. Pada posisi ini, peran, fungsi, dan aturan yang dimainkan oleh KPUD menjadi taruhan.
Fakta itu jelas sekali bagaimana “loyonya” dan “tidak berdayanya adanya beberapa kasus yang menyangkut kinerja KPUD. Misalnya yang terjadi pada kasus Pilkada di Maluku Utara yang telah melaksanakan mekanisme berdasarkan perhitungan suara memenangkan pasangan Abdul Gafur- Amin Fabanyo ternyata dianulir dianulir oleh KPU pusat karena disinyalir KPUD salah prosedur sehiingga melibatkan MA. Begitu juga kasus Pilkada Sulawesi Selatan. Kita tehu juga bahwa versi KPUD Sulawesi Selatan pasangan SAYANG (Syahrul Yasin Limpo-Agus Arifin Nu’mang) yang didukung PDIP, PAN, PDK, dan PDS mengalahkan pasangan incumbent ASMARA (Amin Syam-Mansyur Ramli) yang didukung oleh Golkar, PKS, dan Golkar. Tapi apa yang terjadi kembali lagi-lagi peran KPUD dipertanyakan sehingga dianulir dan dilanjutkan oleh MA (Jawa Pos, 19 Januari 2008).
Kedua, belajar mengakui kemenangan dan kekalahan. Sebuah Pilkada akan menjadi sebuah demokratisasi dan pembelajaran politik bagi seluruh komponen masyarakat Jatim yang dikenal religius dan nasionalis. Sebuah ironisme besar manakala tidak berjalan sesuai dengan aturan yang sudah diatur oleh UU Nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Kalau KPUD, elite politik, anggota dewan, Balon gubernur-wakilnya dan juga masyarakat tidak bisa saling memahami peran masing-masing apalagi hanya mengedepankan rasa egoisme tentunya semua pihak akan rugi. Pilkada ibarat sebuat pertandingan. Sebuah pertandaingan akan berjalan baik apabila berjalan secara sportif. Artinya Pilkada akan berjalan secara demokratis manakala masing-masing pihak bisa menerima kemenangan atau kekalahan sekalipun. Dengan cara dan prinsip itu tentunya Pilkada Jatim damai akan terwujud. Tentunya harus kita ikuti dengan cara berfikir dan berperilaku dewasa pula.
Dalam Pilkada tentu ada yang kalah dan menang. Sikap dan rasa untuk mengakui kekalahan dan mempertanggungjawabkan kepada masyarakat. Misalnya, kita harus juga bisa belajar dari Pilkada Tuban, Maluku Utara, Sulawesi Selatan yang berlangsung beberapa lalu yang proses awalnya bagus ternyata menjadi bom waktu satu hari pasca Pilkada. Sebuah ongkos yang harus dibayar mahal sehingga sikap anarkis terjadi. Untuk itu, elite politik dan orang-orang yang berkepentingan dalam Pilkada harus berpikir jernih dan belajar dari orang lain.
Ketiga, hindari politik uang. Mengapa hal ini juga menjadi bahan analisis saya? Karena untuk sampai saat ini saya memiliki asumsi bahwa Pilkada pasti ada politik uang. Dengan kata lain, langkah ini ditempuh oleh orang agar lolos dan menang seorang calon gubernur atau wakil gubernur dengan cara membagi uang. Untuk itu peran KPUD juga harus “berani” memberikan sangsi kepada para calon yang menggunakan cara yang tidak fair.
Sebab bagaimanapun munculnya konflik horizontal terkait dengan Pilkada yang terjadi di berbagai daerah yang berkepanjangan juga disebabkan oleh politik uang baik yang dilakukan oleh para calon dan juga tim sukses masing-masing calon. Dan tak kalah pentingnya para calon dan mayarakat untuk selalu menjaga perasaan dan hati nurani masing-masing.
Keempat, perlunya kontrak politik untuk tidak korupsi. Mengapa langkah itu juga harus ditempuh oleh para calon yang akan memimpin Jatim ke depan? Karena dengan cara ini dapat dijadikan dasar mengetahui sebuah sikap dan tanggungjawab bilamana calon guberbur tersebut kelak dalam Pilkada benar-benar terpilih jadi Gubernur dan wakil gubernur. Dan suatu ketika di tengah perjalanan kepemimpinanya ternyata mereka melakukan korupsi, masyarakat bisa menagihnya untuk dimintai pertanggungjawaban di depan masyarakat. Sebab, bagaimanapun ada sebuah kata-kata bijak yang berbunyi: Power Trend To Corup. Kekuasaan itu cenderung untuk melakukan penyimpangan atau korupsi. Jadi dengan bermodal sikap untuk tidak korupsi dengan cara melakukan kontrak politik tentunya masyarakat akan tenng dan para calon pemimpin dan kebetulan terpilih dalam Pilkada akan bisa tenang dalam menjalankan roda pemerintahan secara jujur dan bersih.
Karena dengan cara itu yaitu Pilkada Jatim Juni 2008 secara damai akan terwujud. Bagaimana dengan Anda calon Gubernur dan wakil gubernur Jawa Timur? Siapkah Anda menjadi pioner dan memberikan pembelajaran politik kepada masyarakat dengan mengajarkan berpolitik yang sehat, santun, amanah termasuk tidak menggunakan politik uang dan juga tidak korupsi? Beranikah Anda?



*) Penulis adalah Aktivis pada Kajian Refleksi News Bojonegoro-Jawa Timur. Dan masyarakat biasa kini tinggal di Jl. Kyai Mojo Gang Buyut Pani V Bojonegoro. E-mail: zuzanto@telkom.net Telp. 0353-7705106. Nomor Rekening: 0072730090 BNI Cabang Bojonegoro. Alumnus IKIP Malang jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Mantan Dewan Redaksi Tabloid Kampus “KOMUNIKASI” IKIP Malang tahun 1993/1994.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar