Senin, 05 Januari 2009

cerpen

DAWAI CINTA DI KAMPUS BIRU
Oleh : Ratna Ayu Andhira *)


Gita cinta itu bersemi di bangku SMA................

Tepatnya 3 minggu lalu kejadian itu terjadi. Saat itu aku sedang kalut pikiranku.Tapi mengapa dia hadir kembali mengusik ketenanganku selama ini. Aku sebenarnya sudah mengubur kenangan itu. Tapi mengapa itu terjadi?? ada apa dengan perasaan ini??
Senja itu aku melihat sesosok laki laki yang sering membuat hatiku resah, terkadang dia memakiku, meledekku, hingga aku merasa aku ini wanita yang amat buruk. Tapi semua rasa itu bertolak belakang dengan perasaan di relung hatiku yang terdalam untuknya, berat hatiku berkata bahwa aku mencintainya. Saat sang fajar berada di ufuk barat aku memulai lagi lembaran aktifitas yang kadang menjemukan, tapi aku harus menimba dedikasi walau aku harus bertemu dengan lelaki itu, sebut sajalah dia Rendra.
Terkadang hatiku bertanya, kenapa Rendra biasa berdiam diri di taman yang hening di malam pekat. Matanya kosong, wajahnya mengiba. Ingin rasanya aku dekati tapi aku punya harga diri. Dalam batinku "aku urungkan saja". Tetapi pada pagi hari Rendra kembali menjadi sosok monster bagiku. " Huh,cacian buatku terlontar lagi dari mulutnya", Tak apalah aku anggap dia angin lalu. Aku kembali duduk di bangku yang selama ini menjadi saksiku berjuang demi masa depanku. Alangkah terkejutnya saat aku melongok pada kolong mejaku, mawar cantik nan merah menghiasi sepucuk surat yang menawan. Isi surat itu mengisaratkan suatu signal untuk berpamitan. "Untukmu Wanitaku...sebelum aku pergi ijinkan aku mengecup kening dengan sujud kata maaf padamu..saat nafas itu diujung dada temanilah pusaraku dengan mawar merah dan torehan cinta darimu", Begitulah isi surat itu. Aku merasa gundah dengan batinku.
Sudah 6 hari monster itu tidak masuk ke sekolah, tenang rasanya tapi rindu di dada terkadang menyesakkan. Sepulang sekolah aku tercengang saat aku bertemu Rendra di taman tempat dia mengiba. Dengan berperang hati, aku dekati dia. Begitu dia melihatku matanya berkaca, bibirnya pucat, dengan kilat dia berlalu. Dia hanya sempat berucap " Ninda...maafkan aku" saat itu aku mulai merasa dekat dengannya dan aku memberanikan diri kerumahnya.
Alangkah terkejutnya aku, saat aku melihat dia terbaring dengan tancapan infus dan selang pada urat tangan dan hidungnya. Aku dengar dari wanita yang duduk di sebelah pintu bahwa kanker hati telah merapuhkan Rendra, tak ayal itu adalah ibunya, yang mengandung Renndra dalam rahimnya. Nafasku sesak, hatiku penat. Aku dengar suara tangis pecah dalam kamar, Ayah Rendra menutup mata Rendra, selang infus telah tercabut seiring sukma Rendra yang pergi.
Aku jatuh tersungkur di lantai. Monster itu pergi meninggalkanku, mawar merah dan surat yang dia berikan padaku masih aku simpan, dengan remuknya hati aku pergi ke pusara Rendra yang penuh taburan bunga. Dengan ngilu aku berkata " Rendra....aku tahu kamulah lelaki yang menoreh surat untukku, aku telah memaafkanmu...Jujur aku berucap bahwa aku mencintaimu...Ini mawar merah yang menemani senja panjang dan lelapmu..."

Seiring waktu berlalu,hatiku masih meronta atas kepergian monster itu, hatiku tersayat kenangan yang menggelitikkan. Aku kuatkan batinku untuk berdiri menantang hari dan menambah dedikasi. Doa dan dzikir aku panjatkan di tiap usai sholatku. Hariku kosong, pandanganku hampa dan nafasku serasa percuma. Bayangan rona tawa Rendra serasa menari dalam benakku. Aku yakin ALLAH menyayangiku dan akan menggantikan seorang adam bagiku. Aku adalah hawa yang tetap menbutuhkan adam untuk membimbingku,menjadi pelindung dan sandaran hidupku. Masa masa SMA telah aku tapaki, aku beranjak menjadi wanita mandiri dan matang dalam prinsip dan dedikasi. Dalam hatiku, aku hanya membutuhkan lelakiku....

Dawai Cinta itu terajut di Kampus Biru......................
Kampus Biru menjadi saksi aku memulai tahapan bau mematangkan mentalku, Di Kampus Biru UGM inilah aku berada, membuka lembaran baru masa kedewasaanku, di Fakultas Bahasa Jerman aku berada, aku merasa bahagia dengan hari hariku, sejenak aku terlupa akan Rendra...aku merasa makin kuat oleh dorongan semangat handai tolanku. Malam hening mulai datang, dilema perasaanku mulai terasa,malam ini tepat 4 bulan kepergian Rendra. Aku masih menyimpan kental memori dalam benakku. Bundaku berpesan bahwa hari esokku masih panjang, jangan berhenti oleh kenangan lama yang menyesakkan.
Seiring mentari pagi bersinar, seperti biasa teman lelakiku yang baru saja aku kenal, menjemputku di kost, kita memang 1 fakultas dan sering menghabiskan waktu bersama. Entah kenapa sore itu saat aku bersama dengan dia, aku terbawa ke memori kelamku, aku mencurahkan resah dan perih yang selama ini aku simpan tentang Rendra kepada teman lelakiku, panggil saja dia Handika. Dia bisa menyelami apa yang aku rasakan. terkadang naluri lelakinya bicara dan terkadang kelembutan batinnya yang menyentuh jiwaku.
Titian waktu selalu aku lalui bersama Handika. dialah lelaki yang bisa menjadi imam bagi akhiratku, aku terpukau padanya. tapi hatiku mengatakan " Tak mungkin aku mencintainya". Tapi hatiku terasa ngilu ketika aku mengetahui dia dekat dan sering berbincang dengan Arinda sahabatku. Apa gerangan perasaan ini.
Rintik hujan membasahi genting kampusku.................
Mataku terpaku pada Arinda yang tengah asyik memegang surat, dia terlihat tersenyum dan gembira, saat aku mengintip, tak ayal surat itu ber atas namakan Handika. Aku merasa terbuang dan marah. peluhku mengucur deras dari keningku. Layaknya tak terjadi apa apa Handika mendekatiku tapi aku abaikan saja dia, aku merasa dia tidak terlalu mengharapkanku. Sudah 6 hari aku menghindar dari handika, aku tak mau terluka perih lagi karena lelaki. Aku dengar teriakan handika dari lorong kampus " Ninda...............kenapa kau menjauhi aku?? apa salah aku??" segera saja aku berlari mengacuhkannya. Aku benar benar kecewa dengan dia karena dia mencintai sahabatku sendiri, hati siapa yang tidak tergores.
Sudah 5 hari tak kulihat batang hidung si Handika, pikirku kemana Handika ini, tiba tiba Arinda menghampiriku dan berkata handika sakit dan tengah menantiku, tapi tak ku gubris ucapan Arinda. Hampir saja aku berlalu dari Arinda tapi dia memegang tanganku dan memberikan sepucuk surat untukku. Ternyata aku salah sangka, surat itu bukanlah untuk Arinda tapi untuk aku, Handika menitipkannya pada Arinda agar disampaikan padaku.
Huhh...betapa bodoh aku ini,terlalu cepat aku beralibi !!! bergegas aku berlalu menuju kerumah Handika. Ya Tuhan.....dia tergolek lemah dengan mata menengadah ke atas. Aku tak mampu mengampuni diriku sendiri....
mataku mulai basah dengan peluh dan air mata, aku ingat bagaimana saat terakhirku bersama Rendra. Segera aku memeluk erat tubuh Handika, aku dengar bisik lirih dari bibir pucat handika, dia berkata " Kampus Biru telah mempertemukan aku dengan kamu wanitaku...." nafas hangat aku rasakan di telingaku. Aku serasa tak mampu berkata, aku tak ingin kehilagan orang yang aku sayang untuk ke 2 kalinya.Segera aku berikan spirit bagi Handika " Kesembuhanmu adalah bukti cinta bagiku, sembuhlah untuk aku wanitamu".
3 hari berlalu dan Handika mulai segar dengan senyum dan raganya yang mulai kekar lagi...
Jogjakarta yang nyaman dengan andong dan rumah jati membuatku tentram, Aku menikmati malam Sendra Tari Ramayana dengan Handika yang sudah merasa sehat. Kami habiskan malam ditengah tarian Rama dan Sinta seolah kamilah lakonnya. Jogjakarta menjadi saksi bisu bersatunya cinta yang telah terpatri. Aku ingin menuju Monumen Jogja Kembali ( Monjali ) dan mengukir sebuah janji sakral suci disana. Monjalilah tempat akhir kami mengakhiri lelah malam itu. Ditengah rembulan yang sinarnya menerangi dunia fana ini, Handika berucap sebuah kata...
" Ninda...ich liebe dich..du bist meine liebe?? "
itu adalah ungkapan suci yang aku dengar dari sang adam bagi hawa yang dia cintai. Aku hanya berucap " ich wohne nach dir geheiratet". Itulah langkah awal kami menuju kesuatu kesakralan pernikahan. Kampus Biru, Monjali dan Jogjakarta lah yang menyatukan adam bagi hawanya. Mawar senjaku telah aku bubuhkan pada Handikaku. dan waktulah yang membawa kami menuju janji sakral sang Perjaka dan Sang Perawan mengikat ijab di Hadapan Sang Hyang Esa. Biarlah keparjakaan dan keperawanan itu menjadi kebesaran suatu malam pernikahan. Kampus Biruku.....terima kasih telah mempertemukan aku dengan lelaki yang menjadi adamku dan akulah hawa bagian dari tulang rusuknya.....
Lembayung dan rintik hujan menutup akhir tahun masa kuliahku...bertahun tahun aku berjuang meneteskan peluh demi menyandang gelar sarjana bersama Handika. Kami saling menopang demi keberhasilan bersama. kami habiskan waktu untuk mencari bahan skripsi tutup wisuda kami. Tuhan ternyata amat menyayangi kami, skripsi kami di ACC dan kami siap menjemput suatu kebesaran bersama keberhasilan kami. Usai menuntaskan semua kewajibanku aku resmi menyandang gelar sarjana, ke 2 orang tuaku merasa bangga akan kegiggihanku. Begitupun dengan Handika, dia tak didampingi siapapun karena dia hidup sendiri. kedua orang tuanya menelantarkannya demi mencari kesenangan masing masing. Dia sanggup merangkak dari nol demi mencapai asa yang semula dianggap sebatas mimpi. Kini aku dan Handika siap melangkah ke jenjang yang lebih sakral pada hubungan kami. Aku masih teringat saat Handika mengajakku menikah di Monjali waktu itu. Awlanya semua terasa nisbi bagiku. Tapi kini tak lagi nisbi karena dia benar akan mempersuntingku...
3 bulan berlalu Handika mencoba mengais rezeki mencari suatu pekerjaan demi pegangan hidup. Dia akhirnya diterima di Sekolah berbasis bahasa Jerman, Dia membawa kabar baik itu dengan suka cita kepadaku dan kedua orang tuaku. Tak ayal kami menerima dengan senyum yang lega. Sudah rampung semua persiapan masa depan kami, kini kami hanya tinggal meresmikan semua dengan ijab suci. Malam itu Handika berkata akan menikahiku dalam waktu 2 bulan dan aku merasa makin tegang saat kenyataan harus aku hadapi bahawa aku sebentar lagi akan menjadi nyonya Handika. Dalam doa tahajjudku malam itu aku bersyukur karena Tuhan telah memberiku kebahagiaan sebesar ini, tak kurasakan sedih sedikitpun kala itu. Waktu terus berlalu seiring lelahku mempersiapakan pernikahanku yang kian dekat. Semua sudah rampung, Gaun pengantinku telah terpampang manis di gantungan almariku, janur kuning menghiasi muka rumahku, wewangian melati telah terserak di ranjang pengantinku dan lelakiku sedang merasa tegang menghafalakan berpatah patah kata ijab kabul. Aku tersenyum saat aku menari dengan bayanganku kala ranjang kamarku ditaburi melati , karena disnilah aku menyerahkan mahkota yang aku jaga dengan baik pada lelaki pilihanku. Handika pasti bahagia telah mempersunting gadis yang hadir utuh baginya seperti aku.

Cinta itu berlabuh pada ikatan sakral suci pernikahan...
1 hari menjelang pernikahanku, aku merasa aliran darahku mulai terforsir cepat. Pagi itu semua telah sibuk mempersiapkan dekorasinya. Dan aku telah dirias menjadi seorang gadis anggun dengan kebaya putih dan anting yang manis. Sebentar lagi aku bukanlah milik orang tuaku lagi tetapi aku akan menjadi milik Handika Pratama sepenuhnya, dan apapun yang aku lakukan hanya dengan restu Handika. Hatiku makin berdegup saat lelakiku datang mobil didampingi beberapa handai tolannya. Ini dia waktu yang tak akan pernah aku lupakan, seluruh tamu mulai datang dengan undangan yang bertuliskan tahta nama kami yang berbahagia " Ninda Nawang Sari dan Handika Pratama". Handika duduk bersila di hadapan penghulu dan keluarga serta saksi yang melihat ijab suci yang akan kami lakoni. Aku berjalan pelan dan duduk disamping Handika. Dia menatapku dengan pandangan mata yang penuh senyum dan dia berbisik padaku jika malam ini aku adalah miliknya. Ya Tuhan....inilah saatnya, Handika mengucap ijab yang sudah dia hafalkan siang dan malam, resmi sudah kami menjadi sepasang suami istri. Layaknya Fatimah Az Zahra, Aku mengecup telapak tangan suamiku. Dengan kelegaan Handika memanggilku dengan ucapan yang pertama kali keluar dari bibirnya " Istriku..."Hari sudah berganti sore, pukul 16.00 aku lihat. Semua dekorasi tadi sudah dibersihkan dan kami segera berbersih diri dari kosmetik yang tadi mengental padi wajah kami. Handika berkata padaku" Istriku segeralah mandi" dan dengan penuh kepatuhan aku lakoni tugasku sebagai istri yang manut pasa suamiku . Kini Handika menjadi imam dalam sholatku.
Malam sudah datang dengan rembulan dan hembusan angin dingin yang menusuk tulang. Aku duduk di ranjang pangantin ditemani melati putih yang berserak di ranjangku. Handika mendekatiku dan dia bermanja padaku. Berjuta malu memang aku rasakan. aku merasa masih awam dan tabu, tapi ini sudah kewajibanku dan memang suatu kewajaran orang yang sudah menikah untuk bercinta. Dengan desahan nafas lembut Handika berbisik padaku " Istriku...terima kasih kamu dapat menjaga kehoramtanmu dan hadir utuh untukku ,aku bangga telah mempersuntingmu karena akulah lelaki pertama yang akan mengambil mahkota suci darimu". Aku hanya mengangguk malu padanya.
Tuhan....aku telah menyerahkan semua yang memang semua sudah menjadi hak Handika dan kini aku tidak bertahtakan perawan lagi, tapi aku merasa amat tinggi karena aku sudah memberikan kesucianku pada lelaki yang halal untuku. 5 bulan berlalu dengan penuh cumbu mesra pada keluarga kecil kami. Tiap pagi kini aku sediakan sarapan bagi sumiku yang akan berangkat mengais nafkah bagiku, setiap sampai di depan pintu Handika tak pernah lupa mencium kening dan bibirku. Itu sebagai bekal kemesraan untuknya bekerja. Aku mulai merasa ada yang tak beres pada tubuhku, aku mual dan pusing, tubuhku serasa tak kuat menopang lagi. Aku beristirahat sejenak. Setelah itu aku ingin memastikan apa yang terjadi padaku. Tuhan....ternyata aku telah mengandung putra dari Handika pada rahimku, segera aku menelepon suamiku dan dia menyambutnya dengan penuh canda tawa. Aku amat sangat merasa bahagia dan berjuta syukur aku panjatkan pada Sang Hyang Agung. Hari terus berganti bulan. Suatu malam Handika lebih sering memeluk tubuhku dan dia tak ingin jauh dariku. Aku mulai berpikir ada apa dengan Handika yang tak seperti biasanya. Dia berkata " Istriku...andai kata anak ini lahir dan aku tiada aku ingin kau merawatnya seperti Fatimah Az Zahra merawat anaknya dengan air susunya sendiri " Aku pun membalas ucapan aneh tadi " Hus..kamu ngomong apa sayang ?? aku tak ingin kehilangan kamu,aku ingin kita sama sama membesarkan putra kita ini". Dia hanya mengecup keningku dengan penuh kasih sayang serasa kami akan berpisah. Menurut dokter sekitar 2 minggu lagi aku akan berjuang hebat melahirkan putra pertamaku.
Waktu 2 minggu itupun telah terlakoni, aku merasakan sakit yang hebat pada perutku. Tetapi saat itu suamiku sudah berangkat ke luar kota. Segera aku menelepon ibuku karena aku merasa aku harus segera dibawa kerumah sakit. 15 menit berlalu ayah dan ibuku datang pada rumah kecil yang aku tempati dengan Handika agar kami belajar mandiri . Tubuhku yang lemah telah dinaikkan dalam ambulance. Setelah sampai di rumah sakit aku berpesan pada ibuku agar segera memberi kabar pada Handika yang telah berada di luar kota untuk study banding. Handika pun ingin segera pulang untuk menemani perjuangan hidupku sebagai seorang wanita demi anaknya. Handika pun mendapat ijin pulang dengan menaiki Bus Abadi Kencana. Tapi waktu sudah tidak teratasi karena aku sudah harus segera masuk ke ruang persalinan.Aku berjuang sendiri, aku berteriak sendiri didampingi dokter tanpa ada suamiku. Aku harus menjadi wonder woman menahan rasa sakit waktu itu. Aku mulai mengerahkan seluruh tenagaku, aku adalah ibu yang kuat dalam benak sakitku menahan perih. Dengan berjuta peluh aku berhasil menyelamatkan putraku yang lahir dengan bersimbah darah dari rahimku. Aku merasa senang bercampur sedih karena tak ada Handika disampingku. Aku segera akan dibawa keruang perawatan, saat suster membawa aku keluar dengan ranjang roda, aku melihat keramaian di sudut lorong. Saat melihat ada lelaki yang bersimbah darah tertutup selimut sepertinya korban kecelakaan. Kali itu aku bertanya pada seseorang ada apa pada keramaian itu ternyata benar tabrakan hebat terjadi pada 2 kendaraan dan alangkah terkejutnya aku saat ada orang berkata bus Abadi Kencana adalah korbannya. Aku merasa lemas oleh kagetku,nafasku serasa sesak. Saat mayat lelaki itu dipapah oleh relawan dan lewat tepat di sampingku aku merasa tak pernah percaya, karena mayat itu mengenakan cincin kawinku. Tuhan...apakah dia Handika suamiku?? aku berteriak dalam batinku,hatiku menjerit.

Lelakiku telah pergi.....
Harusnya aku bahagia hari ini karena inilah kali pertama aku dan Handika akan menggendong putra pertama kami, tapi takdir berkata lain Handika telah meninggalkanku dengan putra yang Handika impikan. Tak ada guna lagi aku bernafas karena aku harus membesarkan putraku tanpa ayahnya. Aku berjuang pada final antara hidup dan matiku tadi sendirian. Aku serasa menjerit dalam batinku, aku harus meronta pada siapa sementara Handika tak mungkin kembali. Aku menerima kenyataan paling pahit pada hidupku, Tanggal kelahiran putraku menjadi tanggal wafatnya Handika. Bayangkan bagaimana remuknya hatiku saat itu. Dengan mata sendu aku meghantarkan jasad suamiku ke pusaranya. Disanalah dia tinggal selamanya yang hanya ditemani bunga kamboja tepat di atas nisannya. Bayi mungil yang tak tahu apa apa hanya terbelalak melihat keramaian yang tidak pernah dia ketahui apa maksudnya. Tiada lagi dawai cintaku di kampus biru, lelakiku telah pergi menghadap sang Hyang Esa untuk berpulang. Aku ingin mati tapi bayi mungil ini adalah semangatku untuk tetap hidup. Dalam galau tangisku aku berbicara pada nisan bisu suamiku, sesuai dengan pesan Handika Aku akan merawat bayi mungilku ini seperti putri Rasullullah dan aku berjanji tidak akan pernah menikah lagi karena aku ingin putraku besar hanya dengan darah daging yang sejatinya. Kenyataan ini memang pahit dan perih,adamku telah meninggalkan hawanya sendiri, kekuatan batin ini hanya bersumber dari darah daging yang yang menyatu pada rahim. Aku hanya membawa kenangan elok saat Tuhan mempertemukan aku dengan Handika di kampus biru dan kami sempat melakoni kehangatan antara lelaki dan wanita. Aku sempat menorehkan tinta hitam pada latar Monumen Jogja Kembali....” Du bist des letze Mann fur mich ”....kamulah lelaki terakhir bagiku...

*) Penulis adalah siswa kelas XI IPA3 SMAGABO

Tidak ada komentar:

Posting Komentar