Senin, 29 Juni 2009

Resensi Novel The Road to the Empire Karya Sinta Yudisia

Resensi Novel:

Judul Buku : The Road to the Empire
Pengarang : Sinta Yudisia
Tahun terbit : Cetakan I/Desember 2008
Tempat terbit : Jakarta
Penerbit : Lingkar Pena Kreativa
Harga : Rp. 63.000
Tebal buku : ix + 573
Peresensi : Susanto *)







ISLAM DI TENGAH HEGEMONI CINTA DAN KEKUASAAN

Islam adalah agama yang damai. Keberadaannya tidak mengenal kekerasan, kemunafikan, trik dan intrik akan tetapi selalu menebar kebaikan dan cinta kasih kepada sesama meski terkadang dalam realitanya berbeda. Pengalaman pedih sepedih sayatan pedang Panglima perang Mongol Albuqa Khan (AK) selalu muncul tatkala memperjuangan Al Islam. Dan ternyata fenomena itu mungkin juga mungkin terjdi pada masa kini.
Sinta Yudisia (SY) lah yang telah menjawab dengan gamblang problematika Islam masa lalu ke era yang serba pragmatis dan prural ini. SY dalam buku novelnya The Road to the Empire (TRE) mencoba menarik sebuah relevansi kepemimpinan yang bernuansa politik dengan setting romantisme cinta di tengah tinggi dan luhurnya peradaban kekaisaran Mongolia. Dengan kata lain SY dalam TRE ini ingin mengatakan pada kita semua bahwa peradaban suatu bangsa akan selalu luhur, tidak mudah terkikis, dan selalu disegani oleh siapapun bukan didasarkan pada kekerasan, tipu daya, fitnah akan tetapi melalui pencitraan yang baik baik perilaku maupun santun dalam bertutur.
TRE yang tebal 573 halaman ini terbagi dalam 11 bab. Antara satu sama lain saling simultan. Antara lain: serpih masa lalu, kitab rahasia sejarah, awal muharram, takdir syakhrisyabz, ujian kesetiaan, markas baru di Khotar, kelompok kecil, jalan pilihan, serangan mulumuqi, perang terbuka di turpan, dan menuju singgasana baru.
Secara prinsip isi buku SY ini diiawali dari hal serpih masa lalu SY mengawali novelnya dengan memberikan diskripsi masa lalu kekaisaran Mongol yang akhirnya tercermin juga pada rezim Tuquq Timur Khan (TTK) yang selalu mengukur orang lain kecil dan kekuasaan adalah segalanya. Baginya kekuasaan adalah panglima. Kekuasaan yang diembannya diselimuti oleh ambisi kejam, dan narsis yang bangga menyebut keturunan dan kebesaran Jenghiz kahn (hal: 8/paragrap 3). Dia selalu mendewakan kehidupan dengan serba beraroma darah. Yang tersisa hanyalah perang dan ketakutan yang tak pernah bertitik terang. Misalnya SY memaparkan bagaimana si tangan besi TTK melalui AK yang nyaris membunuh Syaikh Jamaluddin seorang musyafir yang telah membuat TTK marah dan darahnya telah menetes di leher (hal 11/paragrap 6).
Pada novel ini SY mengangkat sebuah epik tentang Takudar Muhammad Khan (TMK), seorang muslim pewaris sah tahta Mongol yang akhirnya tersingkir karena sebuah konspirasi busuk, culas, penuh tipu daya dan tidak beradab
Melalui tatanan nuansa bahasa yang penuh style dan deskripsi suasana Mongol langsung menyambut, terasa begitu nyata, seolah pembaca diajak masuk ke dalam cerita dan ikut menyaksikan bagaimana geografi negeri Jenghiz Khan (JK) itu.
Panglima Albuqa Khan yang licik akhirnya dapat menewaskan Kaisar TTK dan Permaisuri Ilkhata, TK menghilang. Tak bisa dielakkan, Arghun Khan (AK) sang pangeran kedua maju sebagai kaisar baru. AK tak ubahnya seperti TTK juga berkepribadian narsis dan ambisius yang ingin menguasai dan menyatukan seluruh dunia dalam satu pusaran imperium membawa dampak dahsyat dan sangat besar. Akhirnya berklimak AK menyiapkan pasukan untuk melakukan ekspansi ke Barat, yang sasaran strategi gerilyanya adalah Jerrusalem. Pasukan Muslim yang selama ini masih bergerak di bawah tanah merasa mendapatkan peluang dan “angin” kinilah moment yang secar tepat untuk memberi perlawanan kepada lawan politiknya yang selama ini telah membuat resah.
Baruji atau TMK mengalami dilema, kegelisahan, kebimbangan dan perang psikologis. Disatu sisi ia tahu membiarkan AK berarti membiarkan pembunuhan massal terhadap kaum muslim dan orang-orang tak berdosa, namun AK tetaplah adiknya yang ia sayangi. Ditengah suasana hatinya yang tak menentu, kekuatan umat Muslim mendapat berbagi goncangan dan mulai tidak solid dengan hadirnya konflik dengan sekutu dan juga sesama orang muslim sendiri. Dan lagi-lagi SY menghadirkan tokoh-tokoh lain pun mulai memainkan peran dalam karakter yang mumpuni. Dia adalah Buzun, sang pangeran ketiga yang mengabdi di kerajaan, sebenarnya tak suka dengan gaya kepemimpinan AK dan mulai mencari TMK.
Memang kalau hanya memahami diawal-awal buku ini memang seakan-akan SY berbicara sejarah masa lalu kekasiran Mongolia. Namun kalau dicermati lebih detail TRE ini memang beda dan sangat luar basa. Hal itu terlihat bagaimana SY menghadirkan sososk wanita-wanita cantik dalam alur ceritanya sehingga novel ini dulunya terkesan sejarah banget akhirnya hilang teralihkan pada cerita cinta dan romatisme para tokohnya. Bagaimana kesabaran dan perhatian Almamuchi, seorang gadis suku Tar Muleng sekaligus pelayan setia TMK senantiasa meneguhkan hati tuannya. Urghana, putri tertua AK, begitu membenci ayahnya dan AK. Namun terpaksa harus merelakan dirinya menjadi “jaminan” demi nama baik dan kehormatan keluarganya. Serta Han Shiang, istri kedua Albuqa Khan yang dulunya adalah selir Kaisar Tuqluq Timur Khan, selalu berusaha mendapatkan kekuasaan lebih dengan kelicikannya yang bagai ular berbisa.
SY dalam klimak ceritanya yang merupakan kemenarikan dari TRE adalah untuk mengiring pembaca pada sebuah analisis konflik. Yaitu pada saat pecahnya perang antara dua kubu. Kekuatan kaum Muslim begitu tak sekufu bila dibandingkan pasukan Mongol. Kesucian akidah-akhlak yang menyatu dengan iman serta semangat ukhuwah islamiyah adalah modal utama sekaligus amunisi yang dahsyat nan ampuh yang dimiliki TK dan sekutu-sekutunya dalam merancang strategi. Itu semua ternyata menjadi energi dan bahan bakar yang super sekali bagi perjuangan TK. Jadi spirit yang tak pernah lapuk dan sirna bila dibandingkan dengan kekuatan semu pasukan Mongol yang dibangun dari ketakutan tanpa ketulusan. SY menganalogkan bahwa: Arghun membangun suatu kekuasaan yang megah bersepuh emas, tapi berpondasikan pasir. Fenomena itulah yang akhirnya menjadi senjata makan tuan bagi Arghun dan Albuqa Khan dalam merancang strategi perang.
Disisi lain kemenarikan dalam buku ini adalah bahasanya yang khas, tidak neko-neko dan lugas. Artinya kehadiran novel TRE ini bisa dibaca siapa saja siswa SMP, SMA bahkan perguruan tinggi. Selain bermuatan sejarah tapi juga mengajarkan etika kepemimpinan yang sekarang ini menjadi isu sentral baik sekala nasional dan maupun dunia.
Karakter tokoh yang munculkan SY ternyata memiliki andil dalam membangun kesatuan cerita yang utuh. Misalnya bagimana SY mengambarkan pertemuan antara Baruji atau TMK dengan Almamuchi. Dan juga SY dalam kepiawaian dalam menciptakan konflik cerita dari ketiga pangeran tersebut.
Satu hal yang menjadi kelemahan dalam buku ini (sekaligus tanda tanya besar dalam benak saya. Mengapa SY dalam novel ini yang notabene settingnya Mongol tidak menghadirkan kata-kata yang cukup representatif mengindikasi kata-kata atau bahasa Mongol yang terucap dari para pelaku atau tokoh-tokoh. Atau simbol simbol peradaban Mongol kala itu? Dan kalaupun ada bukan mewakili karena dalam bentuk catatan kaki. Misalnya istilah-istilah asing seperti: urum, aarul, airag (hal: 7), Mdo ndzangs blun (hal:35). Begitu juga bagusnya sampul tidak diimbangi dengan kualitas kertas karena dalam bentuk buram. Ya semestinya kertas putih. Kalau SY mencantumkan itu semua justru novel ini akan terlihat Mongol banget dan juga elegan.
Imajinasi terdeskripsi yang sangat super luar SY dapat dijadikan panduan bagi para bapak dalam mimpin keluarga sebagai miniatur terkecil dalam masyarakat, para birokrat, dan para pemimpin bangsa (baca: calon Presiden yang akan memipin negeri ini 5 tahun mendatang )agar selalu berpegang teguh etika kepemimpinan yang santun, jujur, terbebas dari intrik balas dendam dan selalu mengayomi kita sebagai umat manusia. Karena kekuasaan bisa celaka manakala tanpa disemangati jiwa keteladanan dan tergoda pada kesenangan semu semisal kecantikan dan memuja harta dan tahta. Tentunya sudah saatnya era kepemimpinan di era prural (baca: disekitar kita/negeri ini) ini lebih mendasarkan pada hegemoni cinta pada sesama bukan pada kemilau kefanaan. Dan teruslah belajar sampai ke negeri Mongolia. Bukankah begitu Mbak SY, para bapak, camat, bupati, ulama, kiai, gubernur, atau pak presiden?




*) Peresensi adalah pemerhati buku, Dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP PGRI Bojonegoro-Jatim. Guru SMAN 3 Bojonegoro-Jatim. Sekarang sedang menempuh Program Magister S2 di Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta. Alumnus S1 IKIP Malang tahun 1995. E-mail: zuzanto@telkom.net. Blog: rahmasusanto.blogspot.com. No.Rekening BNI Cab. Bojonegoro: 0072730090. Kini tingal bersama istri dan 1 putra dan 1 putri di Jl. Kyai Mojo Gang Buyut Pani V Bojonegoro-Jatim. Telp. 0353-5932310. HP. 08563063498.
Biodata Peresensi:

Nama : Susanto, S. Pd.
Tempat tanggal lahir : Bojonegoro, 15 Mei 1970
Pekerjaan : PNS Guru SMA Negeri 3 Bojonegoro
Jl. Monginsidi 9 Bojonegoro
Telp. 0353-882180 Bojonegoro
Jawa Timur
Alamat : Jl. Kyai Mojo Gg Buyut Pani V
Bojonegoro-Jatim HP. 085-63063498
0353-5932310,
E-mail : zuzanto@telkom.net
Blog : http://rahmasusanto.blogspot.com/
NIP : 132 158 299
Golongan : IV-a
Nomor Rekening : BNI Cabang Bojonegoro: 0072730090
Pendidikan Terakhir : S-1 IKIP Malang, 1995 Jurusan
Bahasa dan Sastra Indonesia
Prestasi : Pernah mendapatkan Program
Bea Siswa TID (Tunjangan Ikatan Dinas)
sehingga diangkat menjadi PNS tidak
melalui tes dan langsung diangkat
atau penempatan.
Pengalaman mengajar : 1995-1996 mengajar di SMA
Negeri 1 Kedungadem-Bojonegoro;
Pada tahun 1997-2003 mengajar di SMP
Negeri 1 Sampang Madura. Pada tahun
2003 sampai sekarang mengajar
di SMA Negeri 3 Bojonegoro
Jawa Timur. Menjadi Dosen pada IKIP PGRI
Bojonegoro 2008-sekarang.

Pengalaman Menulis dan Tulisan yang Pernah Dimuat di Media Massa:

Jawa Pos, 16 April 1993: Ujian Depkeu
Jawa Pos, 24 Juni 1993: Reorientasi Fungsi
Jawa Pos, 1 Februari 1994: “Ayam Kampus” Merambah Menara Gading
Jawa Pos, 7 Maret 1994: Skorsing yang Mendidik
Jawa Pos, 19 Mei 1994: Mewaspadai Joki UMPTN
Jawa Pos, 8 Juni 1994: Rektor Digugat Mahasiswa Sendiri
Jawa Pos, 28 Juli 1994: PP 15 1994 dan Nasib PT
Surya, 30 Agustus 1994: Kepuasan Pria dari Nyeleweng: Benarkah?
Jawa Pos, 18 Oktober 1994: Surat Terbuka untuk UKSW
Surya, 19 Oktober 1994: Komentar lomba ludruk Se-Jawa Timur: Ludruk Ditengah Derasnya Informasi Global.
Jawa Pos, 25 Januari 1995: Gelar dan Plus-Minus PT
Jawa Pos, 5 Maret 1995: Resensi Buku: Keadilan Versi Feminisme
Jawa Pos, 12 Juli 1995: Delik Perizinan, Dilema Rektor
Karya Darma, 28 Februari 1996: Angin Segar Bagi LPTK
Radar Bojonegoro, Jawa Pos: 19 November 2002: Genderang Pilbup Bojonegoro
Radar Bojonegoro, Jawa Pos: 15 Juli 2003: Tanggapan untuk Mundzar Fahman: Bila Budaya Korupsi Kian Membumi
Radar Bojonegoro, Jawa Pos: 11 Feb 2004:Perempuan Jadi Wakil Rakyat: Why Not?
Radar Bojonegoro, Jawa Pos: 3 Nov 2004: Seleksi CPNS-GB Semarawut: Salah Siapa?
Radar Bojonegoro, Jawa Pos, 6 Februari 2005 : Reorientasi UNAS
Radar Bojonegoro, Jawa Pos: 22 Mei 2005: Pro dan Kontra Penerapan SKS di SMA
Radar Bojonegoro, Jawa Pos: 8 Agustus 2005: Membangun Bojonegoro Berbasis Kerakyatan
Radar Bojonegoro, Jawa Pos: 14 Mei 2006: Sekali Lagi Menyoal Ujian Akhir Nasional: UAN dan BUDAYA INSTAN.
Radar Bojonegoro, Jawa Pos: Rabu, 28 Juni 2006: Pro dan Kontra Unas Ulang.
Radar Bojonegoro, Jawa Pos: Rabu, 6 Desember 2006: Penghentian Tayangan Smack Down.
Radar Bojonegoro, Jawa Pos: Minggu, 25 Maret 2007: Tanggapan atas Tulisan Agus Rismanto Susanto: Pilkada dan Hegemoni Politik Uang.
Jawa Pos : Selasa, 24 Juli 2007: Prokon Aktivis; Tayangan TV Pemicu Kekerasan Anak
Radar Bojonegoro, Jawa Pos: 27 Januari 2008: Tanggapan untuk Muhajir, S.Pd: Unas 2008 (Bisa) Membunuhku.
Radar Bojonegoro, Jawa Pos: Minggu, 6 April 2008: Dibalik Pemblokiran Situs Porno: Remaja; Bagaimana Harus Bersikap?
Radar Bojonegoro, Jawa Pos: Rabu, 2 Juli 2008: PSB Online: Siapa yang Diuntungkan?
Radar Bojonegoro, Jawa Pos: Minggu, 31 Agustus 2008: Ramadan 1429 H Momentum Introspeksi Diri dan Antikorupsi.
Radar Bojonegoro, Jawa Pos: Minggu, 5 Oktober 2008: Ijazah Instan dan Plus-Minus PT.
Radar Bojonegoro, Jawa Pos: Minggu, 26 Oktober 2008: Refleksi Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober; Revitalisasi Semangat Sumpah Pemuda
Radar Bojonegoro, Jawa Pos; Minggu, 7 Desember 2008: Catatan dari Kongres Guru Indonesia (KGI) 27-28 Nopember 2008: Guru Harus Bisa Tumbuhkan Inspirasi.
Radar Bojonegoro, Jawa Pos; Rabu, 24 Desember 2008: Refleksi Mothers Day 22 Desember 2008: Wanita dan Karakeristik Bangsa






Prestasi Lomba Kepenulisan:

Menjadi juara II se-Kab. Bojonegoro dalam Lomba Menulis Essay untuk kategori Guru yang diselenggarakan oleh DPD Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Bojonegoro pada tanggal 11 Juni 2006 dengan Judul: Surat Terbuka Kepada Bupati Bojonegoro.

Menjadi juara II se-Kab. Bojonegoro dalam lomba Menulis Resensi Buku yang diselenggarakan oleh Yayasan Pengembangan Perpustakaan Indonesia (YPPI) yang bekerjasama dengan Exxon Mobile Ltd. Pada tanggal 26 Oktober 2008.

Menjadi Juara II se-Jatim dalam lomba menulis artikel ilmiah kategori guru yang diselenggarakan oleh panitia dies natalis Unair Surabaya ke-54 pada 29 Nopember 2008.

Pengalaman Organisasi Kepenulisan:

Menjadi Staf Redaksi Majalah MAKNA Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP Malang tahun 1993/1994.
Menjadi Staf Redaksi Koran Kampus KOMUNIKASI IKIP Malang tahun 1993/1994.
Menjadi Pembina Majalah REFLEKSI News SMA Negeri 3 Bojonegoro tahun 2003 sampai sekarang.
Menjadi salah satu tim penyusun Bahan Ajar (BUKU PEGANGAN) Kurikulum KTSP SMA DIKNAS se-Kabupaten . Bojonegoro tahun 2006.
Menjadi salah satu tim pengembang KTSP 2006 (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) DIKNAS Bojonegoro tahun 2007.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar